Senin, 08 Juni 2009

Maunya Kejar Target, tapi Mana Benihnya?

Maunya Kejar Target, tapi Mana Benihnya?

Target peningkatan produksi 40% terancam gagal tanpa dukungan benih yang mencukupi dengan kualitas prima.

Kualitas benih rendah! Inilah batu sandungan terbesar yang menghambat laju perkembangan budidaya perikanan nasional. Padahal, kunci sukses budidaya sangat tergantung pada ketersediaan benih unggul.
Aminto Nugroho, Sales Manager PT Suri Tani Pemuka (STP) tak menampik kenyataan bahwa pembudidaya ikan air tawar sampai saat ini masih terkendala dengan kualitas benih. “Penurunan kualitas benih-benih ikan air tawar memang terus terjadi. Para pembudidaya juga sangat sulit untuk mendapatkan benih-benih yang berkualitas prima.” Tengok saja para pembudidaya KJA di waduk Cirata maupun Jatiluhur yang hingga kini masih kesulitan memperoleh benih ikan mas dan nila berkualitas.
Hal serupa dikemukakan Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Shinta Prima Feedmill. Anang juga menyebutkan, permasalahan tak sekadar pada rendahnya kualitas benih yang ada. Lebih dari itu, ketersediaannya masih kurang. Apalagi untuk mengejar target peningkatan produksi perikanan budidaya yang mencapai 40% pada 2009. “Saat ini benih belum mencukupi. Selain itu, kualitasnya rendah,” ujar Anang kepada TROBOS beberapa waktu lalu.
Kondisi ini sebetulnya tidak perlu terjadi. Pasalnya, pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) justru sesumbar telah menghasilkan induk-induk ikan air tawar berkualitas melalui broodstock center (pusat pembentukan induk unggul) yang sudah dirintisnya. “Broodstock center kita sudah mampu menghasilkan beberapa induk unggul ikan air tawar,” ujar Endhay Kusnendar, Direktur Perbenihan Ditjen Perikanan Budidaya-DKP. Sebut saja Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, salahsatu broodstock center yang telah menghasilkan induk unggul lele Sangkuriang dan nila Gesit. Serta Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi yang juga telah berhasil mengembangkan induk ikan Patin berkualitas.

Sulit Mengakses Induk Unggul
Sayang, sampai saat ini induk-induk unggul yang telah dihasilkan oleh broodstock center belum bisa sampai ke tangan UPR (Unit Pembenihan Rakyat). Alhasil, pembudidaya belum bisa menggunakan benih-benih dari induk unggul tersebut. “Kebanyakan UPR belum bisa mengakses induk-induk unggul. Bahkan banyak juga diantara mereka justru belum tahu jika ada induk unggul yang baru. Lihat saja, berapa banyak UPR yang telah menggunakan induk lele Sangkuriang dan nila Gesit,” papar Aminto.
Pasalnya, kata Aminto, sebagian besar pembenih bukanlah tipe orang yang haus informasi dan yang mau secara aktif mencari tahu sendiri mengenai induk-induk berkualitas. Karena itu, dia menekankan perlu adanya peran aktif pemerintah untuk mempromosikan setiap hasil riset yang telah dicapai, termasuk mengenai induk unggul yang telah dihasilkan. “Tidak cukup hanya berbicara di media saja kalau sudah bisa menghasilkan bibit unggul,” ujar Aminto menambahkan. Menurutnya pemerintah harus aktif mempromosikan secara langsung ke UPR. “Tugas itu bisa dilakukan oleh para penyuluh perikanan.”
Sementara itu, secara terpisah, Aries Madethen dari PT Schering Plough mengusulkan, agar dalam melakukan riset yang bertujuan untuk menciptakan induk unggul, DKP tetap mempertimbangkan aspek ekonomis dari induk ikan yang akan dihasilkan. Aries berpendapat, saat ini justru banyak balai budidaya yang melakukan riset untuk menghasilkan induk unggul tanpa memperhatikan aspek nilai ekonomi dari ikan yang dihasilkan. “Akan lebih baik jika DKP melakukan riset untuk menciptakan induk unggul terutama bagi komoditas ikan-ikan yang laku di pasar ekspor,” katanya. 
Dia mencontohkan, selain melakukan riset untuk menghasilkan induk nila Gesit (nila hitam), DKP seharusnya juga melakukan riset untuk menghasilkan induk nila merah, karena jenis ikan tersebut sangat laku di pasaran internasional. Ini berguna untuk mengundang ketertarikan sektor swasta dalam melakukan riset di bidang perbenihan. “Seharusnya balai riset pemerintah bisa bekerjasama dengan litbang swasta untuk bersama-sama menghasilkan induk unggul.” 

Pengawasan UPR Lemah
Tak sekadar riset yang kurang, titik kritis perbenihan juga ada di tingkat UPR. Sebab, tak jarang proses penurunan kualitas benih justru terjadi pada pembenihan skala rumah tangga ini. Biasanya banyak UPR yang mengabaikan SOP dalam manajemen induk, sehingga terjadi kawin sedarah (in breeding) yang menyebabkan penurunan kualitas. Endhay bahkan mengatakan, ada juga beberapa UPR bandel yang mencoba menciptakan induk sendiri tanpa mengerti teori pemuliaan ataupun selective breeding. “Sebenarnya UPR tidak boleh membuat induk sendiri, tetapi kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak UPR yang mencoba menciptakan induk sendiri,” katanya.
Aminto menilai, persoalan tersebut timbul akibat lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap UPR. “Harus ada kontrol dari pemerintah!” tegasnya. Selain pengawasan, pemerintah juga harus melakukan pendampingan terhadap masing-masing UPR, agar tidak melakukan kesalahan prosedur dalam menghasilkan benih berkualitas. “Kalau untuk pembudidaya pembesaran pendampingan sudah banyak dilakukan oleh pihak swasta, karena mereka punya kepentingan. Tetapi untuk pembenih belum ada swasta yang mau,” imbuh Aminto. Peran itulah yang sepenuhnya harus diambil alih oleh pemerintah.
Menanggapi masalah ini, Endhay mengatakan, sebenarnya pemerintah memiliki badan fungsional pengawas benih, baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah. Sayangnya, badan fungsional pengawas benih ini banyak yang tidak berjalan dengan baik, terutama yang ada di daerah. Ini terjadi karena tidak adanya tunjangan fungsional yang dialokasikan oleh Pemda setempat. “Seharusnya tunjangan fungsional tersebut didukung dari APBD.” Kondisi ini jelas sangat disayangkan. Pasalnya, badan pengawas benih tersebutlah yang menjadi kunci untuk meminimalisasi penurunan kualitas benih, karena tugasnya adalah mengawasi distribusi induk dan benih berkualitas hingga ke masyarakat.


Sumber : Majalah Trobos 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar