Senin, 08 Juni 2009

Jadi Jantan Tanpa Operasi

Jadi Jantan Tanpa Operasi


Untuk mencetak sampai 90% jantan dari 60.000 larva nila cukup memakai 1.200 mg hormon metiltestosteron. Sialnya, hormon sintetis impor itu harganya mahal, mencapai Rp1,3-juta/g. Kendala utama para pembibit itu kini lenyap setelah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menghasilkan metiltestosteron dari testis sapi. Selain murah, Rp200.000/100 g, hasil jantanisasi melampaui angka 90%.

Jantanisasi (sex reversal) pada Oreochromis sp sudah dilakukan di Pulau Jawa sejak 1998. Meski demikian tak mudah diterapkan para peternak. Contoh Muchsin, peternak di Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sejak belasan tahun menekuni pembibitan nila, mendapat mayoritas bibit jantan menjadi halangan besar. -Sulit karena ketersediaan hormon terbatas,- ujarnya. Bibit jantan disukai peternak karena pertumbuhannya 87-91% lebih cepat daripada betina. Waktu panen pun lebih singkat, bibit jantan hanya butuh 4 bulan untuk mencapai bobot 450-500 g/ekor; betina, 6 bulan.

Muchsin bukan tanpa usaha. Selain langka, tingginya harga metiltestosteron menghambat proses jantanisasi. Maklum, untuk 1.250 larva nila butuh 25 mg metiltestosteron seharga Rp12.500. -Harga itu sebelum krisis moneter pada 1998. Kini merangkak naik karena impor dari China dan Thailand,- tambah Muchsin. Oleh karena itu pada 2005 Muchsin mencoba metiltestosteron buatan BATAN. 'Selain murah, tingkat keberhasilannya tinggi,' ujar Muchsin yang mengujicobakannya pada 20.000 larva berumur 7 hari. 
Uji konsentrasi 

Testis sapi yang selama ini menjadi limbah, ternyata kaya testosteron. Berdasarkan uji radio immuno assay (RIA) memakai yodium-125, ekstrak jaringan testis sapi mengandung kadar testosteron lebih tinggi ketimbang mencit, domba, dan kambing. -Jumlahnya sekitar 30% lebih tinggi daripada domba dan kambing,- kata Dra Adria PM, peneliti sex reversal dari BATAN. Tingginya konsentrasi menunjukkan jumlah hormon androgen penghasil sel jantan lebih banyak.

Hormon metiltestosteron dibuat dengan cara mengiris-iris testis sapi menjadi kepingan-kepingan kecil seukuran 5 cm. Potongan itu lantas dioven pada suhu 60o C. Setiap 100 g tepung testis ditambahkan metil alkohol 70% sebanyak 50% dari total volume.

Hormon yang telah jadi diaplikasikan dengan cara dipping (rendam, red) dan oral. Namun, menurut Adria hasil terbaik jantanisasi diperoleh dengan cara perendaman larva berumur 3-10 hari. Saat itu kelamin jantan dan betina larva belum terbentuk. Itu pula yang diterapkan Muchsin saat 'mengubah' kelamin larva umur 7 hari dalam akuarium berukuran 100 cm x 30 cm. Muchsin mencampur 50 g hormon ke dalam 400/l air selama 18 jam. Larutan dituangkan ke dalam bak berisi larva. Bak pembenihan berukuran 3 m x 2 m itu disekat menjadi 5 bagian. 

Kelamin ikan sudah dapat dibedakan secara kasat mata 2-3 minggu kemudian. Jantan bertubuh panjang dan betina perutnya buncit. 'Hasil yang didapat 95% jantan,' ujar Muchsin. Agar pertumbuhannya lebih cepat, burayak-burayak itu diberi pakan berupa campuran pelet dan hormon metiltestosteron. Dosisnya 200 cc hormon cair diaduk merata untuk 1 kg pelet. Pakan itu diberikan selama 7 hari berturut-turut setiap pagi dan sore. -Bibit sepanjang korek api, hanya butuh waktu pemeliharaan 2 bulan; umumnya 4 bulan,- kata Muchsin.

Dosis tepat 

Sejatinya jantanisasi bisa dilakukan pada bibit yang agak besar, tidak semata larva. Itulah yang dicoba Oneng, peternak di Bandung, Jawa Barat, pada ikan mas. Pakan yang mengandung hormon metiltestosteron diberikan setiap pagi. Hasilnya, 10.000 bibit ikan ukuran 4 cm dalam kolam 1 m x 1 m itu sebanyak 70% jantan dan sisanya betina. Bibit ikan umur 3 minggu itu selanjutnya dipindahkan ke kolam pembesaran berukuran 4 m x 9 m.

Menurut Oneng selain menghasilkan jantan lebih banyak, pertumbuhan ikan hasil jantanisasi lebih cepat. Oneng mengamati jantan bukan hasil jantanisasi yang dipelihara, pertumbuhan bobot dan panjangnya tertinggal 20% dibanding jantan hasil jantanisasi ketika berumur 4 minggu. 'Perbedaan pertumbuhan terlihat memasuki minggu ketiga, sedangkan sampai pada minggu kedua relatif sama,' tutur Oneng. 

Muhamad Sulhi, Spi, peneliti di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Balitkanwar), Bogor menuturkan, proses jantanisasi pada budidaya ikan konsumsi sekaligus berefek mempercepat pertumbuhan. -Jantan pada dasarnya memiliki pertumbuhan lebih cepat ketimbang betina karena nafsu makannya jauh lebih tinggi. Apalagi bila hasil jantanisasi,- katanya. Namun, Sulhi memperingatkan, 'Hati-hati penggunaan dosis'. Sebab, jika dosis berlebih berakibat fatal. Oneng contohnya. Gara-gara pakan campuran metiltestosteron dan pelet diberikan pagi dan sore, 300 ikan mas ukuran 4 cm mati. 'Cukup 1 kali sehari: pagi saja,' lanjutnya.

Menurut Adria kematian bibit saat proses sex reversal juga sering terjadi lantaran ikan stres. Jika menggunakan metiltestosteron impor, tingkat kematian larva mencapai 50%; hormon testis sapi hanya 20%. 'Itu karena metiltestosteron dari testis sapi bersifat alami,' kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Nasional di Jakarta Selatan itu. Metiltestosteron dari testis sapi pun bebas residu, sehingga ketika ikan dikonsumsi nanti tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. (Lastioro Anmi Tambunan)
 
Sumber : Majalah Trubus 2008

Maunya Kejar Target, tapi Mana Benihnya?

Maunya Kejar Target, tapi Mana Benihnya?

Target peningkatan produksi 40% terancam gagal tanpa dukungan benih yang mencukupi dengan kualitas prima.

Kualitas benih rendah! Inilah batu sandungan terbesar yang menghambat laju perkembangan budidaya perikanan nasional. Padahal, kunci sukses budidaya sangat tergantung pada ketersediaan benih unggul.
Aminto Nugroho, Sales Manager PT Suri Tani Pemuka (STP) tak menampik kenyataan bahwa pembudidaya ikan air tawar sampai saat ini masih terkendala dengan kualitas benih. “Penurunan kualitas benih-benih ikan air tawar memang terus terjadi. Para pembudidaya juga sangat sulit untuk mendapatkan benih-benih yang berkualitas prima.” Tengok saja para pembudidaya KJA di waduk Cirata maupun Jatiluhur yang hingga kini masih kesulitan memperoleh benih ikan mas dan nila berkualitas.
Hal serupa dikemukakan Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Shinta Prima Feedmill. Anang juga menyebutkan, permasalahan tak sekadar pada rendahnya kualitas benih yang ada. Lebih dari itu, ketersediaannya masih kurang. Apalagi untuk mengejar target peningkatan produksi perikanan budidaya yang mencapai 40% pada 2009. “Saat ini benih belum mencukupi. Selain itu, kualitasnya rendah,” ujar Anang kepada TROBOS beberapa waktu lalu.
Kondisi ini sebetulnya tidak perlu terjadi. Pasalnya, pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) justru sesumbar telah menghasilkan induk-induk ikan air tawar berkualitas melalui broodstock center (pusat pembentukan induk unggul) yang sudah dirintisnya. “Broodstock center kita sudah mampu menghasilkan beberapa induk unggul ikan air tawar,” ujar Endhay Kusnendar, Direktur Perbenihan Ditjen Perikanan Budidaya-DKP. Sebut saja Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, salahsatu broodstock center yang telah menghasilkan induk unggul lele Sangkuriang dan nila Gesit. Serta Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi yang juga telah berhasil mengembangkan induk ikan Patin berkualitas.

Sulit Mengakses Induk Unggul
Sayang, sampai saat ini induk-induk unggul yang telah dihasilkan oleh broodstock center belum bisa sampai ke tangan UPR (Unit Pembenihan Rakyat). Alhasil, pembudidaya belum bisa menggunakan benih-benih dari induk unggul tersebut. “Kebanyakan UPR belum bisa mengakses induk-induk unggul. Bahkan banyak juga diantara mereka justru belum tahu jika ada induk unggul yang baru. Lihat saja, berapa banyak UPR yang telah menggunakan induk lele Sangkuriang dan nila Gesit,” papar Aminto.
Pasalnya, kata Aminto, sebagian besar pembenih bukanlah tipe orang yang haus informasi dan yang mau secara aktif mencari tahu sendiri mengenai induk-induk berkualitas. Karena itu, dia menekankan perlu adanya peran aktif pemerintah untuk mempromosikan setiap hasil riset yang telah dicapai, termasuk mengenai induk unggul yang telah dihasilkan. “Tidak cukup hanya berbicara di media saja kalau sudah bisa menghasilkan bibit unggul,” ujar Aminto menambahkan. Menurutnya pemerintah harus aktif mempromosikan secara langsung ke UPR. “Tugas itu bisa dilakukan oleh para penyuluh perikanan.”
Sementara itu, secara terpisah, Aries Madethen dari PT Schering Plough mengusulkan, agar dalam melakukan riset yang bertujuan untuk menciptakan induk unggul, DKP tetap mempertimbangkan aspek ekonomis dari induk ikan yang akan dihasilkan. Aries berpendapat, saat ini justru banyak balai budidaya yang melakukan riset untuk menghasilkan induk unggul tanpa memperhatikan aspek nilai ekonomi dari ikan yang dihasilkan. “Akan lebih baik jika DKP melakukan riset untuk menciptakan induk unggul terutama bagi komoditas ikan-ikan yang laku di pasar ekspor,” katanya. 
Dia mencontohkan, selain melakukan riset untuk menghasilkan induk nila Gesit (nila hitam), DKP seharusnya juga melakukan riset untuk menghasilkan induk nila merah, karena jenis ikan tersebut sangat laku di pasaran internasional. Ini berguna untuk mengundang ketertarikan sektor swasta dalam melakukan riset di bidang perbenihan. “Seharusnya balai riset pemerintah bisa bekerjasama dengan litbang swasta untuk bersama-sama menghasilkan induk unggul.” 

Pengawasan UPR Lemah
Tak sekadar riset yang kurang, titik kritis perbenihan juga ada di tingkat UPR. Sebab, tak jarang proses penurunan kualitas benih justru terjadi pada pembenihan skala rumah tangga ini. Biasanya banyak UPR yang mengabaikan SOP dalam manajemen induk, sehingga terjadi kawin sedarah (in breeding) yang menyebabkan penurunan kualitas. Endhay bahkan mengatakan, ada juga beberapa UPR bandel yang mencoba menciptakan induk sendiri tanpa mengerti teori pemuliaan ataupun selective breeding. “Sebenarnya UPR tidak boleh membuat induk sendiri, tetapi kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak UPR yang mencoba menciptakan induk sendiri,” katanya.
Aminto menilai, persoalan tersebut timbul akibat lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap UPR. “Harus ada kontrol dari pemerintah!” tegasnya. Selain pengawasan, pemerintah juga harus melakukan pendampingan terhadap masing-masing UPR, agar tidak melakukan kesalahan prosedur dalam menghasilkan benih berkualitas. “Kalau untuk pembudidaya pembesaran pendampingan sudah banyak dilakukan oleh pihak swasta, karena mereka punya kepentingan. Tetapi untuk pembenih belum ada swasta yang mau,” imbuh Aminto. Peran itulah yang sepenuhnya harus diambil alih oleh pemerintah.
Menanggapi masalah ini, Endhay mengatakan, sebenarnya pemerintah memiliki badan fungsional pengawas benih, baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah. Sayangnya, badan fungsional pengawas benih ini banyak yang tidak berjalan dengan baik, terutama yang ada di daerah. Ini terjadi karena tidak adanya tunjangan fungsional yang dialokasikan oleh Pemda setempat. “Seharusnya tunjangan fungsional tersebut didukung dari APBD.” Kondisi ini jelas sangat disayangkan. Pasalnya, badan pengawas benih tersebutlah yang menjadi kunci untuk meminimalisasi penurunan kualitas benih, karena tugasnya adalah mengawasi distribusi induk dan benih berkualitas hingga ke masyarakat.


Sumber : Majalah Trobos 2008

Nila Gesit : Jawab Kebutuhan Benih Jantan

Nila Gesit : Jawab Kebutuhan Benih Jantan


YY male technology, sebuah teknologi rekayasa kromosom yang bertujuan menghasilkan individu jantan dengan kromosom YY 

Para pembenih ikan nila tampaknya tak perlu lagi repot-repot menggunakan teknik sex reversal untuk mendapatkan benih ikan nila jantan. Pasalnya, beberapa waktu lalu telah dirilis strain baru ikan nila hasil pengembangan rekayasa set kromosom YY-Supermale yang diberi nama ¡®nila Gesit¡¯ (Genetically Supermale Indonesian Tilapia). Rekayasa kromosom ini bertujuan menghasilkan individu dengan kromosom YY (homogamet). Teknologi rekayasa tersebut ditempuh sebagai jawaban kebutuhan produktivitas nila, untuk pasar domestik maupun pasar ekspor. 
Sofi Hanif, salah seorang tim perekayasa nila Gesit dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi mengatakan, keunggulan nila Gesit terletak pada kemampuannya memproduksi benih ikan nila jantan dalam jumlah besar. Sebagaimana diketahui, benih nila jantan mempunyai keunggulan tingkat pertumbuhan dibandingkan nila betina, dalam budidaya pembesaran.
Secara alami, kromosom ikan nila jantan adalah XY(GMT/Genetic Male Tilapia), sementara yang betina adalah XX. Meski demikian kromosom ini dapat di manipulasi, sehingga dapat dihasilkan ikan nila jantan berkromosom YY dan betina YY. Kedua induk ini kemudian disilangkan hingga diperoleh benih nila Gesit jantan berkromosom YY. Induk nila jantan berkromosom YY ini mampu menghasilkan 96%-100% benih nila jantan apabila dikawinkan dengan ikan nila betina biasa (kromosom XX).

Feminisasi dan Uji Progeni
Untuk mendapatkan induk jantan nila Gesit perlu dilakukan serangkaian tahapan yang kontinyu. Langkah pertama adalah tahap feminisasi I (pengarahan kelamin menjadi individu betina) yang dilanjutkan dengan uji progeni (progeny test) untuk verifikasi individu betina dengan kromosom XY. Setelah diperoleh individu betina XY, selanjutnya dipijahkan kembali dengan jantan normal dan dilakukan uji progeni II untuk verifikasi individu jantan YY. Sebagian larva yang dihasilkan dari pemijahan tersebut diberikan perlakuan feminisasi II untuk menghasilkan populasi ikan betina berkromosom YY melalui uji progeni III.
Langkah selanjutnya adalah perbanyakan induk YY dengan cara mengawinkan antara induk jantan YY dengan induk betina YY. Diikuti langkah terakhir, melakukan identifikasi DNA pada tiap individu hasil perbanyakan, untuk menjamin keaslian induk nila jantan tersebut (nila Gesit). ¡°Identifikasi DNA sangat diperlukan, karena nantinya akan dilakukan labelisasi untuk mencegah pemalsuan,¡± tegas Hanif. Nila Gesit sendiri merupakan hasil riset panjang kerjasama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB serta BBPBAT Sukabumi.




Optimal di Suhu 25 C
Masih menurut Hanif, pada proses pembenihan, kondisi lingkungan juga menentukan jenis kelamin larva yang dihasilkan. Karena itu, syarat lingkungan yang optimum mutlak dipenuhi. Pada suhu lingkungan di bawah 220 C, benih yang diperoleh sebagian besar adalah betina. Sebaliknya, apabila suhu lingkungan berada di atas 300 C, maka benih yang dihasilkan sebagian besar berjenis kelamin jantan.
¡°Suhu optimum pembenihan nila Gesit adalah 250 C. Jika kondisi ini dipenuhi, maka dapat dipastikan lebih dari 96% benih yang dihasilkan berjenis kelamin jantan,¡± ujar Hanif menyakinkan. Alasannya, tinggi rendah suhu lingkungan berpengaruh pada perkembangan hormon di dalam tubuh larva, dan akhirnya berpengaruh pada pembentukan jenis kelamin larva-larva tersebut.

Untuk hasil benih jantan yang berkualitas, nila Gesit juga harus dikawinkan dengan induk betina berkualitas pula. ¡°Kita sarankan induk jantan nila Gesit ini dikawinkan dengan induk betina nila Nirwana (produksi Balai Pengembangan Benih Ikan Wanayasa) atau induk betina nila GIFT yang masih asli,¡± kata Hanif. Tujuannya, untuk menjaga keturunan yang dihasilkan juga berkualitas baik, terutama tingkat pertumbuhannya. 

Meninggalkan Sex Reversal
Untuk menghasilkan benih nila jantan, metoda yang dapat digunakan ada 4. Pertama, secara manual dengan seleksi kelamin benih berukuran ¡Ý 10 cm (20 gram). Ke-dua, persilangan antarspesies (Oreochromis niloticus dengan O. Aureus). Ke-tiga, penggunaan hormon methyl testoteron sebagai pengarah kelamin (sex reversal) pada benih yang kelaminnya belum berkembang (sexually undifferentiated fry). Ke-empat, dengan pengembangan YY male technology. Selama ini, biasanya para pembenih menggunakan teknik sex reversal, dengan menambahkan methyl testosteron pada pakan benih ikan fase larva. Atau dengan merendam larva yang baru menetas dalam larutan hormon tersebut agar sebagian besar benih berkelamin jantan. 
¡°Saat ini harga hormon tersebut mahal. Selain itu juga bersifat karsinogenik, bagi orang yang bertugas mencampur pakan dan merendam larva dengan hormon tersebut. Jadi harus memakai peralatan pelindung tubuh,¡± jelas Hanif. Sehingga metoda YY male technology menjadi pilihan yang lebih aman dan praktis, karena tidak menggunakan bahan aditif yang berbahaya.
Dengan munculnya nila Gesit, para pembenih dapat secara mudah mendapatkan benih GMT (jantan) hanya melalui proses pemijahan induk jantan nila Gesit.

Keunggulan Benih Jantan
Penggunaan sistem budidaya monosex jantan pada usaha pembesaran ikan nila telah dipandang oleh para pembudidaya sebagai suatu keharusan. ¡°Ikan nila jantan mempunyai tingkat pertumbuhan 30% lebih cepat dari nila betina,¡± demikian ungkap Hanif. Sistem budidaya monosex jantan ini dapat meningkatkan produksi pembesaran ikan nila sebesar 25%. Sehingga target untuk mendapatkan ukuran ikan nila kualitas ekspor pun¡ªberat di atas 600 gram¡ª dapat lebih mudah dicapai.
Masih menurut Hanif, kendala yang dihadapi para pembudidaya jika menggunaan sistem heterosex pada budidaya pembesaran ikan nila adalah, ikan nila memiliki sifat cepat matang kelamin (biasanya pada ukuran 250-300 gram). Akibatnya sering terjadi perkawinan yang tidak terkontrol pada kolam-kolam pembesaran yang tentunya akan menghambat pertumbuhan, karena energi untuk pertumbuhan digunakan untuk perkawinan. Itulah alasan mengapa permintaan benih nila jantan sangat tinggi, dan penggunanan induk nila Gesit pada usaha pembenihan layak menjadi solusinya.
Tidak hanya itu, FCR (Feed Convertion Ratio) yang diperoleh dari budidaya nila monosex jantan juga lebih baik. ¡°Kita pernah melakukan pengujian terhadap benih jantan yang dihasilkan nila Gesit di kolam air deras, Subang. Dari 3,2 ton benih yang ditanam, diperoleh hasil panen sebanyak 13 ton ikan nila kualitas ekspor. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh nilai FCR nila sebesar 1,5,¡± papar Hanif menerangkan.
Sayangnya, para pembudidaya harus labih bersabar apabila ingin merasakan keunggulan nila Gesit ini. Pasalnya strain unggul ini baru akan disebar ke UPR-UPR (Unit Pembenihan Rakyat) pada awal 2008 atau setelah selesai melewati masa uji multilokasi.

Sumber : Majalah Trobos 2007

Nila Nirwana: Solusi Performa dari Wanayasa

Nila Nirwana: Solusi Performa dari Wanayasa

Re-introduksi, mengembalikan kualitas genetik ikan nila yang menurun di level pembudidaya


Guna mengatasi permasalahan penurunan kualitas ikan nila di level pembudidaya, Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) Wanayasa-Purwakarta melakukan seleksi terhadap induk yang dimiliki hingga menghasilkan ikan ‘Nila Nirwana’, Nila Ras Wanayasa. Dan sudah dirilis pada 15 Desember 2006 lalu oleh Dirjen Budidaya DKP Made L Nurjana melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Menurut Ir Sri Judantari, Kepala BPBI Wanayasa, keunggulan nila nirwana terletak pada kecepatan pertumbuhannya. "Pemeliharaan sejak larva hingga berbobot di atas 650 gr per ekor, dapat dicapai hanya dalam waktu 6 bulan, sementara nila jenis lain belum tentu bisa sebesar itu," terang wanita yang akrab disapa Yayi ini. Selain itu, bentuk tubuh nila nirwana relatif lebih lebar dengan panjang kepala yang lebih pendek. Hal ini menjadikannya memiliki strukstur daging yang lebih tebal dibandingkan dengan ikan nila lainnya. 

Ikan nila, yang mempunyai nama genus Tilapia, sejak awal diintroduksi dari Taiwan tahun 1969, langsung digemari para pembudidaya. Tingginya kemampuan ikan nila beradaptasi dengan lingkungan baru membuat jenis ikan ini menjadi salah satu primadona di kalangan pembudidaya ikan air tawar. Tidak heran jika penyebarannya di Indonesia menjadi sangat cepat.

Daya tariknya kian kuat semenjak masuknya ikan nila jenis GIFT (Genetic Improvement for Farmed Tilapia) dan jenis nila GET (Genetically Enchanged Tilapia). Keduanya merupakan varietas baru ikan nila yang diintroduksi dari Filipina sepanjang 1995-1997. Kedua varietas baru ikan nila tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jenis ikan nila yang ada di Indonesia sebelumnya.


Penurunan Kualitas

Sampai saat ini, ikan nila masih menjadi salah satu andalan (walaupun masih di bawah ikan mas) bagi para pembudidaya keramba jaring apung (KJA) di waduk Jatiluhur dan Cirata. Hal ini disebabkan masih tingginya permintaan terhadap ikan nila, selain harganya juga cukup tinggi dan relatif stabil.

Tetapi, penyebaran ikan nila yang sangat cepat ini ternyata memiliki efek negatif dari aspek kualitas. Perkembangannya menjadi tidak terkontrol, banyak terjadi perkawinan sekerabat (inbreeding), dan berdampak menurunnya kualitas genetik ikan nila. Penurunan kualitas genetik sudah dapat dipastikan akan menyebabkan turunnya performa, antara lain penurunan tingkat pertumbuhan, daya tahan tubuh dan kemampuan beradaptasi.

Fenomena penurunan kualitas ikan nila ini sebenarnya sudah disuarakan jauh-jauh hari oleh para pembudidaya KJA Cirata dan Jatiluhur. Pihak BPBI sering menerima keluhan dari para pembudidaya mengenai problem tersebut sejak akhir tahun 90-an. "Banyak pembudidaya yang mengatakan ikan nilanya tidak bisa besar, dan bentuk tubuh bulat seperti jengkol," tutur Yayi. Sehingga up grading kualitas komoditas ini menjadi sebuah keharusan. Dan melalui berbagai upaya, BPBI sampai pada titik reintroduksi nila nirwana.

Seleksi Famili

Untuk menghasilkan nila nirwana, BPBI melakukan seleksi dengan menggunakan metode ‘seleksi famili’ terhadap 18 famili nila GIFT dan 24 famili nila GET yang dimiliki selama 3 tahun. Seleksi ini dilakukan secara ketat terhadap benih-benih yang dihasilkan dari jenis ikan nila GIFT dan nila GET. 

Proses seleksi dimulai dari pencarian bakal induk yang baik, kemudian dipijahkan. Benih-benih yang dihasilkan selanjutnya diseleksi secara ketat terkait performa kesempurnaan tubuh dan pertumbuhannya. "Dari 500 ekor benih yang dihasilkan oleh tiap pasang famili yang diseleksi, paling kita hanya mendapatkan 10 pasang yang layak kita jadikan Great Grand Parent Stock (GGPS). GGPS inilah yang dinamakan nila nirwana," katanya menambahkan. 

Dari GGPS ini akan diperoleh induk dasar atau Grand Parent Stock (GPS) yang nantinya akan menghasilkan induk sebar atau Parent Stock (PS). PS ini merupakan induk akhir yang akan menghasilkan benih sebar untuk kebutuhan para pembudidaya. "Kualitas benih sebar turunan nila nirwana ini kita jamin sama dengan nila nirwana (GGPS)," tambah Yayi meyakinkan. 

Rp 2,5 juta untuk Induk

Nila nirwana produksi BPBI Wanayasa ini, selanjutnya akan disebar ke UPR-UPR (Unit Pembenihan Rakyat) yang ada di Jawa Barat. "Yang kita sebar ke UPR adalah level PS. Sedangkan GPS diperuntukkan Balai Benih Ikan (BBI) yang ada di tiap kabupaten se-Jawa Barat. Sementara GGPS akan tetap berada di BPBI Wanayasa. Ini dilakukan untuk menjaga kualitas nila nirwana ini agar tidak menurun," kata Yayi. 

Selama tahun 2007, BPBI Wanayasa menargetkan produksi 100 paket induk nila (PS), dengan tiap paketnya terdiri atas 300 ekor nila betina dan 100 ekor nila jantan. Tiap paket indukan, BPBI menetapkan bandrol sebesar Rp 2.500.000,- bagi para pembenih. "Komposisi 300:100 merupakan perbandingan yang cukup baik untuk proses pemijahan. Sudah umum di kalangan pembudidaya 300 nila betina dibuahi oleh 100 nila jantan. Hal ini karena jumlah telur ikan nila relatif sedikit sedangkan jumlah spermanya banyak," ujar Yayi memaparkan.

Sumber : Majalah Trobos Feb-2007